Selasa, 18 September 2012

Awas!!! Program-Program Kristenisasi di Indonesia

Berbagai cara ditempuh untuk melancarkan proyek kristenisasi. Ada yang memalsukan Al-Quran, pendeta mengaku haji, sampai upaya memurtadkan kiai ternama. Ada pula tokoh Muslim yang “mendukung” kristenisasi.

Kawin antar-agama hanyalah salah satu cara kristenisasi. Lainnya, banyak. Menurut kristolog Abu Deedat Shihab, kaum misionaris dan zending perlu menempuh berbagai macam cara karena selama ini merasa gagal. Kini, kristenisasi lebih diprioritaskan untuk menjauhkan ummat Islam dari agama, baru kemudian memurtadkannya. Abu Deedat merujuk pada Al-Quran Surat Al-Baqarah: 109, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman…” Juga Al-Baqarah: 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”

Sinyalemen Al-Quran itu memang benar. Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds (1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi Kristen, menyatakan, “Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslimin sebagai seorang Kristen, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam agar jadi orang yang tidak berakhlaq sebagaimana seorang Muslim. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.”

Plesetan Al-Qur’an

Al-Quran, sebagai tuntunan hidup ummat Islam, kini dimanfaatkan sebagai sarana kristenisasi. Tentu saja bukan Al-Quran sungguhan, tapi palsu. Salah satunya adalah The True Furqan, yang sempat beredar di internet dan menggegerkan publik Jawa Timur, awal Mei lalu. Dalam Al-Quran buatan Evangelis (Ev) Anis Shorrosh itu, ada surat bernama Al-Iman, At-Tajassud, Al-Muslimun, dan Al-Washaya yang isinya memuji-muji Yesus.

Selain ada Al-Quran palsu, juga bertebaran buku-buku plesetan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. “Cara ini yang sekarang paling banyak terjadi. Pemberian Indomie atau bantuan uang sudah tidak manjur lagi,” tutur Abu Deedat.

Kenapa cara itu ditempuh? Dalam wawancara dengan majalah Jemaat Indonesia (edisi 4 Juni 2001), Pdt R Muhamad Nurdin —Muslim murtad— menyebut trik itu sebagai cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. “Saya membuat buku agar dibaca umat Kristen, kemudian disalurkan kepada umat beragama lain. Saya tulis untuk kalangan sendiri, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian bagi orang Yahudi aku seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang Yahudi. Itu cara yang hati-hati dalam merebut hati kaum Muslimin. Jangan sampai ada vonis mati seperti untuk Suradi dan Poernama,” ujarnya. Dua nama terakhir adalah pendeta yang divonis mati oleh Forum Ulama Ummat (FUU) Bandung karena menghina agama Islam.

Buku-buku Nurdin laku keras. Dalam tiga tahun, 5000 eksemplar ludes. Hasilnya, menurut penuturan Wakil Gembala Gereja Kristen Maranatha Indonesia (GKMI) Rawamangun Jakarta ini, banyak orang Islam yang akhirnya menerima Yesus alias murtad. “Bahkan ada yang menjadi penginjil.”

Contoh buku karangan Nurdin adalah Ash-Shadiqul Masdhuq (Kebenaran yang Benar), As-Sirrullahil Akbar (Rahasia Allah yang Paling Besar), dan Ayat-ayat Penting dalam Al-Quran.

Selain buku, juga bermunculan brosur atau pamflet sejenis lembar Jumat. Judul yang dipilih pun seolah-olah Islami.

Misalnya “Allahu Akbar Maulid Nabi Isa as”, “Kesaksian Al-Quran tentang Keabsahan Taurat dan Injil”, dan “Siapakah yang Bernama Allah itu?” Bertebaran pula stiker kaligrafi Arab yang isinya pujian kepada Yesus.

Buku dan brosur itu diterbitkan oleh Yayasan Jalan Al-Rachmat, Yayasan Christian Center Nehemia Jakarta, Yayasan Pusat Penginjilan Alkitabiah (YPPA), Dakwah Ukhuwah, dan Iman Taat kepada Shiraathal Mustaqiim.

Anak-anak sekolah juga menjadi sasaran empuk. Siti Muflikhah, santri Pesantren At-Taqwa Bekasi, pernah mendapat surat berisi komik anak-anak dari sebuah lembaga yang menamakan diri Klab17. Di bagian awal, komik itu berisi cerita keseharian anak-anak. Namun di bagian akhir ada pernyataan, “Saya percaya akan Engkau, Yesus sebagai juruselamat saya.”

Mengaku Mantan Haji

Bidang kesehatan juga dibidik. Ini antara lain dialami keluarga Hartono, warga Kupang, Surabaya. Istrinya, Jam’iyah, sakit dan dirawat di RS RKZ Surabaya. Biaya yang harus dikeluarkan selangit sehingga Hartono yang cuma bekerja sebagai mandor kontraktor kebingungan. Datang misionaris menawarkan bantuan biaya pengobatan. Namun ada syaratnya: masuk Kristen. Hartono terpikat. Suami istri itupun akhirnya menjadi penganut Kristen.

Cara yang cukup sulit diidentifikasi adalah tipu daya dengan meniru adat atau kebiasaan komunitas Muslim. Di Cirebon, ada kelompok qasidah yang menyanyikan puji-pujian kepada Yesus.

Hal serupa juga dilakukan jemaat Kanisah (Kristen) Ortodoks Syiria (KOS) yang menyelenggarakan tilawatul Injil, memakai peci, ibadahnya mengamalkan shalat 7 waktu, memakai sajadah, dan mendendangkan qasidah.

Duta-duta Injil (begitu kalangan Kristen menyebutnya —red) juga berani mengaku sebagai mantan ustadz, bertitel haji atau hajjah, atau anak kiai terkenal. Pengakuan-pengakuan seperti itu direkam dalam kaset dan diedarkan di tengah masyarakat.

Misalnya di Cirebon, murtadin Ev Danu Kholil Dinata alias Theofilus Daniel alias Amin Al-Barokah, mengaku sebagai sarjana agama Islam, yang pindah menjadi pemeluk Kristen setelah mempelajari Nabi Isa versi Islam di STAI Cirebon. Ternyata ijazah sarjana yang dipakai untuk kesaksian itu palsu.

Ada lagi Ev Hj Christina Fatimah alias Tin Rustini alias Sutini alias Bu Nonot, pemberita Injil dengan memperalat Al-Quran di Gereja Bethel Pasir Koja, Bandung. Mengaku pernah berkali-kali menunaikan ibadah haji. Menurut penuturan Sumarsono, mantan suaminya, Sutini tidak pernah belajar di pesantren. Selama berkeluarga tidak pernah shalat. Memang dia pernah pergi ke Arab Saudi, bukan untuk ibadah haji tetapi menjadi TKW.

Banyak lagi kaset-kaset yang berisi rekaman kesaksian palsu, misalnya kesaksian HA Poernama Winangun alias H Amos, Pdt R Muhamad Nurdin, Pdt M Mathius, Pdt Akmal Sani, Niang Dewi Ratu Epon Irma F Intan Duana, dan Ev Paulus Marsudi.

Sekolah dan Tawaran Kerja

Biaya sekolah yang kian mahal juga dimanfaatkan untuk menjerumuskan kaum Muslimin. Mereka mendirikan sekolah (yang seolah-olah) Islam, seperti Institut Teologi Kalimatullah Jakarta yang dikelola Yayasan Misi Global Kalimatullah. Juga ada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Apostolos Jakarta, yang mempunyai kurikulum Islamologi bermuatan 40 sks.

Lapangan kerja juga menjadi lahan subur. Ini misalnya dilakukan pasangan misionaris Robert Antony Adam dan Traccy Carffer di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Warga Amerika Serikat yang terang-terangan mengaku utusan Yesus itu berhasil memurtadkan 123 orang Minang, dengan bekal jabatan konsultan kehutanan Global Partners Forestry Unit (GPFU). Robert-Traccy yang masuk Pesisir Selatan sejak Desember tahun silam, menawarkan rekayasa teknologi tepat guna pemberdayaan jati emas, pala super, dan kapas transgenik. Robert lantas menjual bibit jati mas, pala, dan kapas dengan harga 50% lebih murah daripada harga pasaran. Kalau mau dapat gratisan, bisa saja. “Asal masuk Kristen,” ujar Masrizal, aktivis dakwah di Pesisir Selatan. Banyak warga yang tergiur dan akhirnya menjual keyakinan karena terobsesi keuntungan jutaan rupiah. Untung misionaris ini segera dideportasi karena pelanggaran visa, pertengahan bulan lalu.

Kasus serupa terjadi di Bekasi. Bulan April lalu terbongkar praktik kristenisasi berbungkus lapangan kerja. Sekitar 50 orang Muslim asal Gorontalo dibawa ke Bekasi dengan janji akan dipekerjakan dan diberi beasiswa oleh Yayasan Dian Kaki Emas. “Tapi setelah sampai di sini, mereka dididik dan dipaksa pindah agama Kristen oleh Pendeta Edi Sapto,” ungkap Hamdi, Ketua Divisi Khusus Forum Bersama Ummat Islam, dalam acara konferensi pers di Masjid Al Azhar, Klender Jakarta Timur.

Warga Muslim itu disekap, didoktrin ajaran Kristen, disuruh ikut kebaktian, dan dilarang shalat. Mereka juga diwajibkan memelihara babi-babi yang ada di kompleks yang berdiri di atas tanah seluas 5 hektar itu. Akhirnya kompleks kristenisasi terselubung itu digerebeg warga dan aparat.

Dukungan Tokoh “Muslim” Liberal (JIL)

Proyek kristenisasi ternyata mendapat `dukungan’ dari beberapa orang yang sering disebut cendekiawan Muslim. Tokoh-tokoh ini memperkenalkan paham liberalisme dan pluralisme yang kerap mengusung slogan `membangun dunia baru’, dengan penyatuan agama dan melepaskan fanatisme agama. Salah satunya adalah Prof DR Said Agil Siradj, MA. Gagasan pluralnya antara lain tampak dalam pengantar buku Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam. Buku ini dikarang oleh Bambang Noorsena, pendiri Kanisah Ortodoks Syiria (KOS) di Indonesia. Di situ Said Agil menulis bahwa KOS tidak berbeda dengan Islam. Secara al-rububiyyah, KOS mengakui bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam yang harus disembah. Secara al’uluhiyyah, telah mengikrarkan Laa ilaha ilallah (Tiada Ilah selain Allah) sebagai ungkapan ketauhidannya. Jadi dari tauhid sifat dan asma Allah secara substansial tidak jauh berbeda dengan Islam. Perbedaannya, menurut Said Agil, hanya sedikit. Jika dalam Islam (Sunni) kalam Tuhan yang Qadim itu turun kepada manusia (melalui Muhammad) dalam bentuk Al-Quran, maka dalam KOS kalam Tuhan turun menjelma (tajassud) dengan Ruh al-Quddus dan perawan Maryam menjadi Manusia (Yesus). Perbedaan ini tentu saja sangat wajar dalam dunia teologi, termasuk dalam teologi Islam. “Pandangan seperti itu merupakan salah satu bentuk penghancuran aqidah,” timpal Abu Deedat.

Tokoh lainnya adalah DR Nurcholis Madjid. Dalam buku Pluralitas Agama, Kerukunan dalam Keragaman, Cak Nur menjelaskan bahwa pengikut Isa Almasih menyebut kitab Injil sebagai Perjanjian Baru berdampingan dengan kitab Taurat yang mereka sebut sebagai Perjanjian Lama. Kaum Yahudi tidak mengakui Isa Almasih dengan kitab Injil-nya, menolak ide Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru itu, namun Al-Quran mengakui keabsahan keduanya sekaligus. Dengan nada agak tinggi, Abu Deedat menyebut pendapat Cak Nur itu sebagai upaya pendangkalan aqidah. “Para pengikut Nabi Isa as (kaum Hawariyun) tidak pernah menyebut Injil sebagai kitab Perjanjian Baru. Nabi Isa sendiri tidak pernah menerima atau mengetahui kitab Perjanjian Baru karena Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa bukanlah Perjanjian Baru yang isinya kebanyakan surat-surat Paulus yang sangat bertentangan dengan ajaran Nabi Isa itu sendiri,” katanya.

Selain kedua tokoh di atas, Abu Deedat juga memasukkan Alwi Shihab sebagai tokoh pluralis. Sementara Adian Husaini dalam Islam Liberal menunjuk beberapa nama seperti dosen-dosen Universitas Paramadina (Komaruddin Hidayat, Budhy Munawar Rahman, Luthfi As-Syaukanie), dosen UIN Syarif Hidayatullah (Azyumardi Azra, Muhammad Ali, Nasaruddin Umar), dan beberapa nama lain yang menjadi kontributor Jaringan Islam Liberal.

Menurut Adian yang juga anggota Komisi Kerukunan antarumat Beragama MUI, melalui pluralisme, ummat Islam diprovokasi agar melapaskan aqidahnya. Tidak lagi meyakini agamanya saja yang benar, dan kemudian diajak untuk mengakui bahwa agama Kristen juga benar. “Teologi pluralis sebenarnya adalah pembuka pintu bagi misi Kristen dan sejalan dengan imbauan Paus Yohanes Paulus II agar misi Kristen terus dijalankan,” ujarnya.

Kaum Kristen juga tak segan-segan “menyerang” tokoh-tokoh Muslim yang dikenal sebagai pejuang tegaknya syariat Islam. Misalnya KH Kholil Ridwan (Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia) dan KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii (Pimpinan As-Syafiiyah, Jakarta).

Sekitar 5 bulan lalu, keduanya mendapat kiriman brosur dari STT Apostolos. “Isinya tidak secara langsung mengajak kepada agama Kristen, namun mengajak saya agar masuk ke dalam Apostolos. Itu artinya Apostolos mengajak saya untuk masuk ke dalam agama Kristen,” kata Abdul Rasyid.

Abdul Rasyid segera melaporkan kejadian itu kepada aparat, sebab cara itu sudah melanggar ketentuan hukum, yakni larangan mengajak ummat suatu agama untuk masuk ke agama lain. Kemudian ada pemberitahuan dari aparat bahwa pihak Apostolos melalui Pdt Yusuf Roni membantah telah mengirim surat dan brosur itu.

“Terlepas dari benar tidaknya bantahan itu, yang jelas apa yang saya alami merupakan indikasi bahwa sasaran kristenisasi tidak hanya kalangan akar rumput, tapi juga ulama dan tokoh masyarakat,” ujar Abdul Rasyid.

Yerikho 2000 dan Doa 2002

Misi Kristen di Indonesia didukung oleh kekuatan dana yang sangat besar, di antaranya melibatkan konglomerat keturunan Cina, James T Riady (bos Grup Lippo). Seperti terungkap di majalah Fortune (16 Juli 2001), James berencana membangun seribu sekolah di desa-desa miskin di Indonesia. James bekerjasama dengan Pat Robinson (misionaris dunia) juga akan mendirikan organisasi jaringan umat Kristiani. Hebatnya, ummat Islam secara tidak sadar turut mendukung cita-cita besar James T Riady. Antara lain dengan menjadi nasabah Bank Lippo, belanja di Mal Lippo, membeli rumah di Lippo Karawaci dan Cikarang, berobat ke RS Siloam, pelanggan Lippo Shop, Link Net, Lippo Star, Kabel Vision, dan Asuransi Lippo.

Indonesia memang akan dijadikan pusat perkembangan Kristen di Asia Pasifik. Demikian kata Pdt George Anatorae dari The Lord Familly Church Singapore dalam seminar kerjasama Global Mission Singapore dan Galilea Ministry Indonesia, di Hotel Shangrila Jakarta (9-12 Juni 1998). Sejauh mana keberhasilan program itu, perlu diteliti lebih lanjut. Yang pasti, data tahun 1999 menunjukkan jumlah umat Islam di Indonesia anjlok dari 90% menjadi 75% (Siar No 43, 18-24 November 1999).

Keberhasilan itu berkat kerja keras 38 agen kristenisasi, 1573 misionaris pribumi, 62 misionaris asing, dan 421 misionaris lintas kultural (data dari Operation World 2001 yang dihimpun India Missions Association, Japan Evangelical Assocation, dan Korea Research Institute for Missions).

Salah satu lembaga yang gencar melaksanakan kristenisasi adalah Doulos World Mission (DWM). Saat ini DWM sedang melaksanakan Proyek Yerikho 2000, yaitu program pengkristenan wilayah Jawa Barat, dengan sentra kegiatan digerakkan di kawasan pinggiran Jakarta.

Proyek ini bertujuan “mewujudkan Kerajaan Allah di bumi Parahyangan menyongsong abad XXI”. Menurut Hendrik Kraemer, peneliti dan penginjil dari Belanda, Jawa Barat adalah wilayah “paling gelap” di Indonesia dan sangat tertutup bagi Injil. Karena itu aktivis DWM bertekad, “Kita harus merebut tanah Pasundan bagi Kristus.”

Yerikho 2000 juga digerakkan di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Pusat kegiatan DWM berada di kawasan Rawamangun (Jakarta Timur) dan Tangerang (Banten).

Program lainnya adalah Doa 2002, yang dilaksanakan sejak tanggal 19 Oktober 2001 sampai 6 Desember 2002. Secara khusus program ini menyebut beberapa komunitas Muslim sebagai objek kristenisasi. Di antaranya adalah suku Kaili Ledo (Sulawesi Tengah), Melayu Riau, Betawi, Aceh, Melayu Kalimantan, Tenggarong Kutai, Bima, Maluku, Banda, dan Papua. Rencana program Doa 2002 tertuang dalam buku 40 Hari Doa Bangsa-Bangsa yang telah diterjemahkan ke dalam 35 bahasa di dunia.

Muslim Betawi misalnya, harus didoakan oleh segenap orang Kristen pada tanggal 9 November 2001 lalu. Itu perlu dilakukan agar hati Bapa mengasihi dan merindukan orang Betawi. Selain itu, agar Bapa mengutus duta-duta kerajaan-Nya untuk mengembangkan pelayanan kesenian Betawi, literatur, dan radio dalam bahasa Betawi. Juga, agar Tuhan mencurahkan kuasa-Nya dan mengubah kehidupan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Betawi, baik para penyanyi, penari, tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan wanita.

Secara khusus, orang Kristen mendoakan Presiden Megawati dan beberapa pemimpin dunia. Harapannya, agar Megawati (dan para pemimpin) mendapat pewahyuan tentang Ketuhanan Yesus dan keluarganya datang mengenal Kristus.

Duta-duta Injil juga sedang menggencarkan ritual Doa 5 Patok. Yakni meningkatkan doa 5 kali sehari dengan pelaksanaan minimal 30 menit lebih awal sebelum waktu shalat (bagi orang Islam). Tujuannya adalah untuk mengadakan penghadangan ruhani sekaligus pembersihan atmosfir ruhani agar kaum Muslimin dapat menerima Yesus.

Ritualnya dilaksanakan sebelum waktu shalat ummat Islam, yakni subuh (mulai 03.15-selesai), pagi (10.30-selesai), siang (14.00-selesai), sore (17.00-selesai), dan malam (18.00-selesai). Pada Kamis malam, dilakukan doa semalaman dan peperangan ruhani sambil berkeliling kota/lokasi tertentu. Awas, hati-hati!• (ahmad, dodi nurja, amz, pam)

Peta Kristenisasi Dunia (klik untuk memperbesar gambar)


Kristenisasi melalui kesaksian-kesaksian Palsu via mantan muslim (murtadin) palsu

Tahun 1974, GPIB Maranatha Surabaya digegerkan oleh kasus pelecehan agama oleh Pendeta Kernas Abubakar Masyhur Yusuf Roni. Dalam ceramahnya, sang pendeta itu mengaku ngaku sebagai mantan kiyai, alumnus Universitas Islarn Badung dan pernah menjadi juri MTQ Internasional. Dia tafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara sangat ngawur. Kaset rekaman ceramah tersebut kemudian diedarkan secara luas kepada umat Islam.

Setelah diusut tuntas, ternyata pengakuan pendeta itu hanyalah bohong belaka Yusuf Roni teryata tidak bisa baca Al-Qur’an. Dengan kebohongannya itu, Pendeta Pembohong Yusuf Roni diganjar penjara 7 tahun di Kalisosok, Surabaya.

Ketika orang sudah banyak melupakan kasus pelecehan Yusuf Roni, di Jakarta muncul pelecehan plus seribu dusta yang baru. Seseorang yang menamakan dirinya Pendeta Hagai Ahmad Maulana mengaku sebagai putra kandung kesayangan KH. Kosim Nurzeha. Ceramahnya di gereja pun beredar luas di kalangan masyarakat. Setelah diselidiki, terkuaklah kebohongan besar pendeta Hagai Ahmad Maulana. Sebab belum pernah istri KH. Kosim Nurzeha melahirkan Ahmad Maulana.

Di Padang, trik yang sama dipakai untuk menggoyang akidah umat. Seseorang yang menamakan dirinya Pendeta Willy Abdul Wadud Karim Amrullah, namanya menjadi naik daun di dunia pemurtadan Kristenisasi, setelah mangaku adik kandung ulama besar pakar tafsir, Yang Mulia Almarhum Buya Hamka.

Orang awam banyak yang percaya tanpa cek dan ricek. Langsung yakin begitu saja dengan pengakuan bahwa adik kandung Buya Hamka itu sudah murtad ke Kristen.

Setelah diselidiki, ternyata pengakuan itu adalah kebohongan yang sangat besar. Salah seorang putra Buya Hamka menyatakan bahwa sepanjang hayatnya, dia tidak pernah punya paman yang namanya Willy Abdul Wadud Karim Amarullah.

Di Cirebon, murtadin Danu Kholil Dinata Ev. Danu Kholil Dinata alias Theofilus Daniel alis Amin Al Barokah, mengaku sebagai sarjana agama Islam, yang pindah menjadi pemeluk Kristen setelah mempelajari Nabi Isa versi Islam di STAI Cirebon. Setelah dilacak, ternyata ijazah sarjana yang dipakai untuk kesaksian adalah PALSU.

Para murtadin pembohong lainnya adalah Drs. H. A. Poernomo Winangun alias Drs. H. Amos, Ev Hj. Christina Fatimah alias Tin Rustini (nama asli dikampung Sutini alias Bu Nonot, Pdt. Rudy Muhammad Nurdin, Pdt. M. Mathius, Pdt. Akmal Sani, Niang Dewi Ratu Epon Irma F. Intan Duana Paken Nata Sastranagara (Ev. Ivone Felicia IDp.). Mengaku telah mengkristenkan 60 kiyai Banden, dll.

Perlawanan oleh Abu Deedat Shihabuddin MH, Ahli Kristologi

“Kasus Terbanyak, Pemuda Kristen Hamili Gadis Muslimah” Pertengahan bulan lalu, harian Republika menurunkan laporan tentang puluhan sekolah agama di Yogyakarta dan Temanggung yang tidak mau menyelenggarakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) untuk pelajaran agama bagi siswa-siswa beragama lain di sekolah itu. Padahal sudah ada ketentuan hukum yang mengatur hal itu secara tegas yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 2/U/SKB/2001.

Namun, SKB yang ditandatangani oleh Mendiknas, Mendagri dan Menag itu sengaja mereka abaikan. Alasan mereka, mengutip pernyataan sejumlah pejabat Diknas setempat, mereka ingin menjaga kekhasan sebagai sekolah agama. Bahkan beberapa yayasan pengelola sekolah-sekolah tersebut secara tegas menolak SKB itu karena ingin mengemban misi tertentu untuk kepentingan agama mereka (Republika, 12/6).

Menanggapi berita tersebut, da’i dan Kristolog (ahli tentang Kristen), Abu Deedat Shihabuddin MH berkomentar enteng. Menurutnya, itu tidak aneh dan belum seberapa gawat, karena sebetulnya masih banyak bentuk-bentuk pembangkangan mereka lainnya yang lebih parah. Yang aneh, bagi Sekjen Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) itu, justru sikap harian tersebut yang tidak mau secara tegas mengatakan bahwa sekolah-sekolah itu tidak lain adalah sekolah-sekolah Kristen. “Mengapa mesti takut,” tanyanya heran.

Sebagai seorang kristolog, ustadz yang biasa dipanggil Abud oleh rekan-rekan seprofesinya itu, memang bukan hanya menguasai disiplin ilmu tentang agama Kristen secara mendalam. Tapi ia juga banyak tahu tentang seluk-beluk dan kiprah licik para misionaris Kristen dalam memurtadkan kaum Muslimin.

Maklum, pria berkaca mata tebal ini sering menangani berbagai kasus pemurtadan di berbagai daerah, baik berupa advokasi maupun terapi langsung. Selain itu Abud juga kerap melakukan investigasi langsung ke ‘garis belakang’ untuk memperoleh data. Jadi wajar kalau ia tahu banyak.

Sudah banyak murtadin yang terselamatkan kembali ke pangkuan Islam setelah diterapi Abud. Uniknya, para pasien yang ditangani mubaligh kalem ini bukan hanya dari kalangan Muslim KTP saja. Tapi juga ada yang justru berasal dari kalangan santri. Misalnya, anak seorang kyai asal Salatiga yang selain dimurtadkan juga dihamili oleh seorang aktivis gereja. “Ini bukti bahwa gerakan pemurtadan memang semakin hebat dan terencana serius,” jelasnya prihatin.

Melalui Abud juga, sejumlah pendeta dan aktivis gereja kembali berdiri di bawah panji Syahadat. Mereka mengakui kekeliruan yang ada pada ajaran mereka setelah berdebat panjang dengan Abud. “Bahkan, ada salah satu pendeta setelah berdebat di rumah saya membanting Injilnya karena kesal,” cerita pria yang kutubuku ini.

Di tengah kesibukannya keliling daerah untuk mengisi ceramah, seminar dan pelatihan tentang antisipasi gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), mantan aktivis PII ini berkenan meluangkan waktunya untuk diwawancarai Suara Hidayatullah. Di ruang tamu rumahnya yang sempit, karena dipenuhi ribuan buku serta pakaian, sendal dan sepatu, barang dagangan istrinya, Abud menerima Deka Kurniawan dan reporter lepas Hidayaturrahman.

Berikut petikan wawancara Abu Deedat:

Ustadz Abu Deedat Shihabuddin MH


Anda begitu mendalami dunia Kristen. Pernahkah terbersit di hati Anda untuk masuk Kristen?
Tidak ada keinginan untuk masuk Kristen walaupun saya sudah banyak sekali membedah Bibel. Justru keyakinan saya terhadap kebenaran Islam semakin kuat, karena setiap saya membaca Bibel selalu ada perbedaan redaksi dalam setiap edisi cetakannya. Misalnya dalam edisi lama ada istilah Tuhan. Tapi di edisi baru pada tempat yang sama ditulis Tuan. Begitu juga istilah Babi diganti menjadi Babi Hutan.

Abud mengoleksi 49 kitab Injil modern dan klasik, termasuk Injil dalam sejumlah bahasa daerah yakni Jawa, Minang dan Sunda. Sebagian besar didapatnya secara cuma-cuma dari diskusi yang dilakukannya bersama pendeta. Selebihnya didapat dari hasil investigasi dan membeli di pasar loak.

Setelah sekian lama menggeluti ajaran Kristen, apakah Anda menemukan sisi positifnya?
Al-Quran sendiri menyatakan, telah terjadi percampuradukan antara yang benar dan yang batil dalam ajaran ahlul kitab. Ini berarti menunjukkan ada juga kebenarannya. Hanya saja memang madu dan racun itu sudah digabung menjadi satu. Seperti ayat-ayat tauhid dalam Markus pasal 12 ayat 25 Yesus berkata, “Dengarlah wahai Bani Israel Tuhan kita dalah Tuhan Esa.” Ini menunjukkan Tuhan mereka adalah esa disamping memang ajaran mereka khusus hanya kepada golongan Bani Israel. Tapi ada juga racunnya, apa yang dikatakan Paulus dalam Roma pasal 9 ayat 5 misalnya, “Yesus adalah Allah yang harus disembah.” Datanglah ayat Al-quran sebagai korektor bagi mereka, misalnya surah Al-Maidah ayat 72 menyebutkan, “Telah kafir orang yang mengatakan al-Masih adalah Tuhan.” Makanya, kalau kita berinteraksi dengan para aktivis Kristen kita jangan hanya mengatakan kitab Injil sudah tidak asli atau palsu, lebih baik kita tunjukkan yang menyimpang dan salah pada Injil tersebut.

Apa yang menyebabkan kaum Nasrani tidak menyadarinya?
Di samping kekuatan dana, mereka ada dogma, bahwa apapun yang terjadi apakah ajaran itu rasional atau tidak, harus diterima karena ia merupakan firman Tuhan. Dan ditanamkan kepada mereka hanya orang Kristen saja yang selamat, yang lain tidak selamat dan harus diselamatkan. Misi inilah yang membuat mereka agresif untuk melakukan pemurtadan. Apalagi misi itu didukung dengan fasilitas yang cukup. Mereka tidak lagi memikirkan urusan kebutuhan keluarga, karena sudah dijamin. Lain dengan dai-dai kita yang dikirim ke pelosok paling hanya digaji Rp 50.000-150.000 per bulan.

Apa yang membuat mereka menerima dogma tersebut, sehingga mereka tetap menjadi umat terbesar?
Secara umum orang ingin mencari yang gampang. Dan di Kristen itu memang gampang. Kalau melakukan tindakan yang tidak berakhlaq tidak ada masalah karena nantinya akan diampuni juga, dan cukup hanya sekali seminggu datang ke gereja. Paulus mengatakan dalam Roma pasal 5 ayat 20, “Semakin banyak dosa semakin melimpah kurnia Tuhan.”

Makanya di Barat kita ketahui kehidupan mereka rusak, terutama dalam kebebasan seks. Dan kerusakan itu mengacu kepada ajaran Bibel yang memang banyak memuat cerita-cerita porno yang vulgar. Misalnya diceritakan bagaimana Nabi Daud sebagai orang yang rusak moralnya menghamili Batseba istri Uria. Begitu pula Nabi Luth diceritakan menghamili anaknya sendiri. Makanya, Jasmen Alfa, seorang Sosiolog Kristen, mengatakan Bibel itu jangan sampai dibaca anak-anak, lebih baik ia dimasukkan ke dalam peti besi, kemudian petinya dikunci dan kuncinya dibuang ke laut.

Bagaimana reaksi mereka bila mendengar hal itu dari Anda?
Mereka membenarkan dan meyakini kebenaran cerita persundelan itu. Misalnya sebuah acara di televisi pernah menampilkan dua orang pelacur yang menjadi germo kemudian bertaubat menjadi hamba Tuhan. Saya sampaikan bahwa cerita ini mirip dengan apa yang ada dalam Bibel. Pembawa acara yang Kristen itu kemudian membenarkan. Kemudian saya balikkan, berarti Yesus anak pezina karena dalam Matius ayat 1 dan seterusnya menceritakan bahwa silsilah keturunan Yesus bertemu dengan raja Daud yang menzinai Batseba. Tapi telepon saya akhirnya ditutup.

Kalau sudah mentok biasanya apa yang mereka lakukan?
Ada yang jujur dan mengatakan ini PR buat saya. Ada yang tidak jujur dengan cara menghindar dan lari ke masalah lain. Maka kalau debat dengan mereka jangan beri kesempatan buat beralih pembicaraan.

Mereka meyakini semua orang berdosa dari Adam sampai manusia kemudian, kecuali Yesus yang tidak berdosa. Inilah sebenarnya skenario Paulus menjalankan misinya, yang membuat citra bahwa Yesus itu juru selamat.

Apakah Anda hafal Injil sehingga fasih menyebutkan ayat demi ayat?
Tidak hafal. Hanya tahu saja.

Selama beraktivitas di bidang ini Anda sudah terjun kemana?
Seluruh wilayah Jawa Timur sudah, begitu pula Jawa Tengah dan Sumatera juga serta Kalimantan. Program ke depan adalah Irian dan Sulawesi. Kalau ini sudah berarti semua pulau besar sudah. Jadwal terbang Abud memang padat. Ketika kami menemuinya seusai berkhutbah Jumat di sebuah perkan-toran ia mengaku baru tiba dari Kalimantan. Sesudah itu ia punya agenda di dua tempat sampai malam.

Karena waktu yang terbatas wawancara itu urung dilangsungkan. Karena esok siangnya ia berceramah di Universitas Trisakti untuk selanjutnya terbang ke Palembang, Sahid mewawancarainya pagi hari selama waktu menunggu jemputan dan dalam perjalanan menuju lokasi seminar. Itu pun masih sering disela oleh telepon, antara lain dari daerah yang memintanya datang yakni Pekalongan dan Padang.

Apa yang biasanya Anda lakukan di berbagai tempat itu?
Kita memberikan informasi sekitar cara-cara pemurtadan dan kita dorong mereka memperdalam pemahaman keislaman. Jangan sampai nanti kawan dibilang lawan dan lawan dibilang kawan, karena memang gerakan mereka ibarat musang berbulu ayam, lihai dan licik.

Misalnya sekarang di Meruya Ilir (Jakarta) mereka mendirikan Sekolah Tinggi Theologia Kalimatullah, yang semua mahasiswanya memakai kopiah dan mahasiswinya memakai jilbab. SKS Islamologinya yang dulu hanya 20 SKS sekarang menjadi 40 SKS. Semester dua saja mereka sudah dilatih berdiskusi dengan para ustadz. Sedang mahasiswa IAIN saja tidak dipersiapkan untuk menghadapi para pendeta. Ada juga yang mengaku-ngaku anak kiai, mantan ustadz dan lain-lain.

Mereka menggunakan cara-cara itu untuk mencari legitimasi?
Semacam itu. Tidak jarang yang mengaku pernah jadi aktivis Muhammadiyah. Bahkan di rumah sakit pun mereka beraksi. Pasien yang tidak berdaya disuruh beriman kepada Yesus agar sembuh. Padahal kalau mau jujur, saya mempunyai tetangga Katolik yang mengeluh karena habis biaya untuk berobat strok tapi tidak juga sembuh, terus saya balikkan saja, katanya Tuhan Anda bisa menyembuhkan. Jadi semua akal-akalan orang Kristen untuk menjerat orang Islam. Kalau sudah menjadi Kristen ya akhirnya diterlantarkan.

Seberapa sering Anda menangani kasus-kasus pemurtadan?
Banyak sekali. Yang paling sering biasanya kasus pemuda Kristen memacari dan menghamili pemudi Muslimah. Ada juga kasus nikah beda agama yang belakangan menim-bulkan masalah besar.

Apa hikmah terbesar menjadi seorang Kristolog?
Di sini saya bisa menguji kemampuan lewat berdebat dengan mereka, kalau ada yang kurang saya pelajari terus. Di samping itu memudahkan saya berda’wah kepada mereka, karena Islam ini juga wajib dida’wahkan kepada mereka. Lihat saja surah Ali-Imron ayat 71. Sementara perintah bagi mereka untuk berdakwah kepada orang Islam itu batal karena dalilnya di Matius pasal 28 ayat 16 dibuat setelah Yesus mati.

Karenanya, kalau Anda didatangi misionaris Kristen, jangan diusir. Da’wahi mereka .

Tapi kan tidak semua orang punya bekal?
Makanya para aktivis da’wah harus menyiapkan bekal itu. Tim FAKTA insya Allah siap membantu. Dimana saja, sampai ke Irian sekalipun, kami siap memberikan bekal.

FAKTA didirikan 1998 dengan latar belakang belum banyaknya lembaga yang secara khusus menangani persoalan Kristenisasi. Dengan fasilitas yang sangat terbatas 7 dari 20 relawan (diantaranya bekas pendeta) yang aktif hingga kini masih rutin melakukan berbagai kegiatan antisipasi pemurtadan antara lain dengan menerbitkan buletin, membuka ruang konsultasi akidah di sebuah majalah Islam, memberikan seminar, ceramah dan pelatihan Kristologi di berbagai kota, dan belakangan di kampus-kampus. Melalui lembaga inilah Abud membangun jaringan anti pemurtadan secara nasional. Sayangnya, untuk kebutuhan operasional FAKTA masih mengandalkan kocek para relawannya sendiri.

Apa saja langkah yang harus diambil jika sebuah masyarakat berhadapan dengan kristenisasi?
Kristenisasi ini bervariasi. Kalau mereka mengadakan santunan sosial, pembagian sembako atau lainnya, maka umat Islam harus melakukan hal yang sama sebagai counternya. Kalau mereka menyerang lewat buku kita juga mempersiapkan buku dan tulisan-tulisan, sekaligus menyerang balik kepada mereka. Tapi kalau kasusnya hipnotis maka kita harus laporkan kepada pihak yang berwajib dan melakukan upaya advokasi bertemu dengan upaya hukum. Aparat juga harus peka. Kalau tak ada langkah hukum masyarakat bisa kehilangan kesabaran.

Kepada para misionaris, langkah pertama, tolak mereka dengan cara yang baik, karena Islam tidak mengajarkan cara kekerasan jika kita tidak diperlakukan keras. Konkritnya kalau menemukan sudah ada bukti-bukti itu, ambil bukti-bukti itu kemudian serahkan kepada ulama setempat dan beritahukan kepada aparat, lantas jelaskan kepada mereka ini melanggar kode etik penyebaran agama. Kalau mereka berbuat zhalim baru kita lakukan hal yang sama tapi tidak boleh berlebihan. Ummat Islam jangan menjadi ummat yang bodoh karena Islam bukan agama yang sempit. Kepada ummat Kristen yang tidak menggangu jangan diganggu pula mereka.

Tindakan ummat Islam selama ini cenderung reaktif terhadap isu-isu kristenisasi, misalnya seperti yang terjadi di Doulos. Bagaimana menurut Anda?
Jangan salah tafsir. Ummat Islam tidak pernah mengadakan aksi. Mereka hanya bereaksi. Karena aksi-aksi Kristen melanggar kode etik maka ummat Islam bereaksi.

Mungkin, karena begitu concernnya terhadap bidang Kristologi, dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba ini, sampai menamakan anak keduanya dengan seorang tokoh Kristologi terkemuka dari Afrika, Ahmad Deedat. “Saya memang mengaguminya dan ingin agar dia menjadi ulama seperti Ahmad Deedat,” jelas Kristolog yang mengaku memiliki kemiripan jalan hidup dengan Ahmad Deedat itu. Itulah sebabnya di kalangan teman-temannya, serta belakangan di kalangan media dan umat, anak ketujuh dari 13 bersaudara pasangan Mahfudz dan Hanafiyah itu lebih sering dikenal sebagai Abu Deedat. Padahal nama aslinya adalah Shihabuddin.

Mengapa Anda tertarik dan tekun menekuni Kristologi?
Saya terjun di dunia Kristologi tahun 1982, ketika bekerja di sebuah perusahaan swasta. Di perusahaan itu kebetulan direkturnya seorang pendeta. Begitu pula para pimpinan lainnya yang memegang posisi penting rata-rata adalah aktivis gereja. Salah satu dari mereka, yakni kepala bagian keuangan berusaha menginjili (‘mendakwahkan’ injil) para karyawan Muslim melalui berbagai tulisan dan diktat tentang potongan-potongan ayat Qur’an yang terkesan seperti mendukung agama mereka.

Saya penasaran. Maka saya datangi orang itu. Ketika saya tanya, katanya tulisan-tulisan itu disusun oleh orang yang sudah berpuluh-puluh kali naik haji. Saya pun terlibat diskusi kecil-kecilan dengan mereka.

Apa bekal Anda waktu itu?
Bekal saya waktu itu Injil pemberian seorang Kristen Manado yang saya pelajari. Kebetulan juga saya lulusan Fakultas Ushuluddin, jurusan Penyiaran Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sana ada mata kuliah khusus tentang Kristologi. Dengan modal itu saya terus menggeluti dunia Kristologi secara otodidak, selain mengikuti kursus-kursus Kristologi secara tertulis. Misalnya di Pelita Hidup tahun 1986 dengan menggunakan nama samaran. Alhamdulillah dari situ saya banyak mendapatkan dokumen penting yang berguna untuk antisipasi gerakan mereka.

Ia dibesarkan di pesantren NU sampai SMP di Tasikmalaya, Jawa Barat. Orang tuanya juga berlatar belakang NU. Karena banyak berinteraksi dengan aktivis Persis, ayahnya lalu banyak mendorong untuk berdakwah. Berbagai diskusi dan kegiatan PII ditekuninya.

Di rumahnya Abud sering meladeni permintaan debat dari para pendeta dan aktivis gereja. Hal yang sama juga dilakukan di berbagai tempat. Dan itu sudah berlangsung ratusan kali. Dari kalangan Budha dan Aliran Kepercayaan ada juga yang pernah menjadi lawan debat Abud. Menurut Abud, banyak di antara mereka yang menyerah tapi tidak mau mengakui kesalahannya. Kalau pun ada yang mengaku salah, mereka khawatir kalau masuk Islam akan miskin. Tidak sedikit juga yang mendapat hidayah.

Buku apa saja yang Anda jadikan pegangan untuk mendebat mereka?
Ketika masih SMU di kampung, saya sudah memiliki referensi buku-buku Islam, kurang lebih 500 judul. Yang pertama saya pelajari adalah dialog Islam-Kristen berjudul “Bibel lawan Bibel” karangan A Hassan dan buku-buku Pak Abdullah Wasian tentang Kristologi.

Bagaimana Anda mendidik anak Anda, Deedat, supata kelak jadi seperti Ahmad Deedat?
Saya sekarang sedang berusaha menyiapkannya menjadi aktivis da’wah. Ketika saya menangani kasus pemurtadan di rumah, saya sengaja menyuruhnya untuk melihat.

Bagaimana mengatur kesibukan da’wah dengan keluarga?
Saya mencoba bagaimana kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi, karenanya saya juga berwiraswasta. Istri saya banyak sekali membantu dan mendorong saya ketika menangani kasus-kasus pemurtadan terutama terhadap Muslimah. Jadi antara saya dan istri sejalan. Dia juga tahu tugas saya, sehingga untuk anak-anak kita beri penjelasan kepada mereka.

Anda pernah mengalami teror?
Iya, sebatas teror telepon dan surat kaleng biasa. Istri saya juga pernah diancam melalui telepon. Berjuang harus ada tantangan dan itulah risiko.

Peristiwa apa yang paling berkesan bagi Anda?
Yang tidak pernah bisa saya lupakan adalah ketika saya mengobati anaknya kiai, di mana seumur hidup baru kali itu saya menceramahi kiai secara langsung. Anaknya kuliah di salah satu perguruan tinggi di Semarang, dibawa kabur oleh anak pendeta kemudian di-Kristenkan, bahkan sudah dihamili. Akhirnya pak kiai ini mendatangi saya dan minta tolong kepada saya untuk menangani kasus ini. Alhamdulillah, saya pun dapat melakukan penyadaran kepada anak tersebut dan kepada kiai itu sekaligus yang merasa terpukul dengan keadaan anaknya. Kesan lain, ketika saya menghadapi kasus-kasus Muslimah yang termurtadkan. Ini sering membuat saya sedih.

Apakah perhatian yang mendalam itu tidak membuat Anda emosional?
Saya sangat prihatin sekali, karena lembaga yang lain masih sangat minim perhatiannya terhadap masalah seperti ini. Inilah kelemahan di kalangan kita. Kalau kejadian seperti ini belum menimpa keluarga kita sendiri, hal itu dianggap biasa saja. Kalau sudah tertimpa musibah baru merasa.

(Wawancara bersama Abu Deedat oleh Deka Kurniawan)

Sepucuk surat tergeletak di meja redaksi kami, Maret lalu. Surat itu dari seberang pulau, Kalimantan Timur. Nama pengirimnya singkat saja, Dewi. Tetapi persoalan yang diadukan tak sesingkat namanya. Coba simak isi surat itu:
“Saya seorang ibu 29 tahun dan suami 31 tahun. Kami telah dikaruniai dua anak. Yang pertama pria (6), dan kedua putri (2). Kami menikah 7 tahun yang lalu, dia adalah teman sekampus saya. Saat pertama mengenalnya, saya benar-benar benci. Maklum, saya lahir dari keluarga Muslim yang taat, sementara dia pemeluk Protestan. Tapi entahlah, mungkin karena dia tak pernah putus asa, saya kemudian menerimanya menjadi pacar. Saya benar-benar semakin sayang setelah dia kemudian menerima menikah dalam Islam. Saya benar-benar bahagia sekali.” Tetapi setelah datangnya anak pertama lalu disusul anak kedua, banyak perubahan yang terjadi pada suami saya. Tiba-tiba dia jarang shalat dan sering keluar tanpa pamit. Belakangan saya tahu ternyata dia tidak benar-benar meninggalkan agamanya. Bahkan, sejak anak kedua kami lahir, secara terang-terangan dia pernah mengatakan kepada saya. `Saya masih seperti dulu, jadi jangan harap ada perubahan.’” “Mendengar kata-katanya, saya hampir tidak percaya. Suami saya yang tadinya pendiam itu tiba-tiba seperti itu. Yang membuat saya benar-benar takut dan sedih, hari-hari ini, dia sering memaksa saya mengikuti jejaknya untuk datang di kebaktian.’

Kisah memilukan itu tidak cuma dialami Dewi, tapi juga seorang ibu asal Palu yang datang ke kantor Suara Hidayatullah (Sahid) Surabaya, Juli lalu. Wanita berperawakan sedang ini datang bersama suaminya dengan wajah sembab. Kepada Sahid, ia menceritakan musibah yang menimpa keluarganya. Singkat cerita, sang adik diketahui hamil di luar nikah sesaat sebelum menyelesaikan gelar sarjananya. Yang membuat musibah itu terasa amat berat, pacar sang adik itu ternyata pemuda beragama lain. “Adik saya dihamili oleh pemuda Kristen,” ucapnya sembari menyeka linangan air matanya. Padahal, sang adik dikenal sebagai wanita pendiam dan jarang keluar rumah. Selain itu, selama ini, dia dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga Muslim yang sangat taat. Peristiwa memalukan itu memang kemudian bisa dicarikan solusinya. Singkatnya, sang adik akhirnya menikah dengan pacarnya pemuda Kristen dalam upacara Islam. Setelah itu, keduanya pindah kota yang jauh dari keluarga, di Palu. Hanya saja, kepergiannya masih tetap menyisakan luka yang mendalam bagi pihak keluarga. Terutama setelah diketahui bila sang adik telah ikut sang suami menjadi aktifis gereja bersama semua anaknya.

Kisah cinta seperti Dewi dan adik si ibu tadi bukan hal baru di negeri ini. Banyak pemuda dan pemudi pernah mengalami hal serupa. Memiliki teman dekat atau calon suami yang berbeda agama. Ujung-ujungnya, dalam banyak kasus, hubungan keduanya kemudian terhambat karena adanya perbedaan agama. Bagi yang taat pada agama, mereka memutuskan untuk berpisah. Sebagian lagi memilih kompromi, yakni memilih mengikuti salah satu dari agama yang dianut pasangannya. Pada pilihan yang terakhir inilah yang perlu diwaspadai, utamanya para gadis muslimah.

Kejahatan kristenisasi itu, kini dilengkapi dengan kenyataan kristenisasi yang sangat menghina umat Islam, yaitu memperkosa muslimah murid Madrasah Aliyah di Padang yang selanjutnya dimurtadkan. Khairiyah Enisnawati alias Wawah (17 thn) pelajar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Gunung Pangilun, Padang, Sumatera Barat adalah salah satu dari 500 orang Minang yang dimurtadkan. Gadis berjilbab itu diculik, diperkosa dan dipaksa keluar dari agamanya lewat misi rahasia yang dijalankan sekelompok orang Kristen, di rumah Salmon seorang Jemaat Gereja Protestan di Jl. Bagindo Aziz Chan, Padang tempat memaksa Wawah untuk membuka jilbab dan masuk Kristen. Gereja itu dipimpin Pendeta Willy, sedang Salmon adalah jemaat yang juga karyawan PDAM Padang. (Dialog Jumat, 6 Agustus 1999).

Tentu saja saya punya data mengenai itu, kan tinggal kontak FAKTA. untuk pemanasan nich ada data hamilisasi yang pernah terjadi di Tambun – dan Kranji Bekasi!!

Banyak muslimah telah jadi korban pemurtadan. Hanya orang-orang yang tinggal di selatan Pasar Tambun yang mengenal H Kacep. Mungkin sebab itu, kasus kematian mubaligh kondang untuk ukuran kampungnya yang sungguh mengenaskan, sama sekali luput dari pemberitaan media massa. Kejadiannya sekitar setahun yang lalu. Berawal dari pertemuan puterinya dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut. Kian hari kian akrab. Gadis muslimah itu kian sering dijumpai berduaan dengan sang pemuda. Sang ayah, H. Kacep, suatu waktu memanggil keduanya. Mubaligh itu bagaimana pun tahu bahwa berpacaran adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam. “Wa la taqrabuu zina, demikian peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an.” Karena hubungan antara puterinya dengan sang pemuda sudah terlihat begitu erat dan berjalan sudah relatif lama, maka sebagai seorang ayah yang bertanggungjawab, H. Kacep berniat untuk meresmikan hubungan kedua insan itu ke dalam jenjang pernikahan.

Secara bijak H. Kacep mengutarakan keinginannya pada sang pemuda. Puterinya menyimak baik-baik apa yang dikatakan ayahnya itu. Hatinya berbunga-bunga. Yakin bahwa sang pemuda pujaan tidak akan keberatan dengan maksud ayahnya. Setelah mendengar penuturan H. Kacep, sang pemuda dengan enteng menjawab, “Ya, saya mau saja menikahi anak bapak. Asalkan pernikahannya dilakukan di gereja!”

Bagai disamber geledek di siang bolong. Bapak dan anak puterinya terkaget-kaget dibuatnya. Sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa pemuda yang selama ini dekat dengannya ternyata seorang non-Muslim. Padahal dulunya ia pernah bilang bahwa dirinya juga Islam. Dari hari ke hari gadis muslimah tersebut mengurung diri di kamarnya. Hingga suatu hari sosok remaja tersebut ditemukan terbujur kaku dengan mulut berbusa. Sekaleng racun serangga ditemukan tergolek di sampingnya. Besar kemungkinan, sesuatu yang berharga telah dipersembahkan gadis tersebut pada sang pemuda hingga ia memilih mati ketimbang menanggung malu. Kematian puteri tercintanya membuat H. Kacep menangung kesedihan yang amat sangat. Belum lagi kasak-kusuk tetangganya yang kerap terdengar tidak sedap. Akhirnya H. Kacep jatuh sakit. Dua bulan kemudian, sang ayah menyusul puteri tercintanya ke alam baka. Pesantren yang dikelolanya pun bubar.

Di daerah Kranji, masih Bekasi, beberapa tahun lalu juga terjadi kasus yang mirip. Seorang Muslimah berteman akrab dengan seorang pemuda. Dari pertemanan tersebut, si gadis pun hamil. Sang ayah yang tahu sedikit banyak tentang Islam pun marah besar. Segera dipanggilnya sang pemuda untuk dimintai pertanggungjawabannya. Juga dengan enteng, si pemuda menjawab, “Saya mau nikah dengan anak bapak, asal dilakukan di gereja!” Ayah beranak itu kaget mendengarnya. Sama sekali mereka tak menyangka siapa gerangan pemuda itu. Tapi sikap dan pendirian sang ayah cukup tegas: ketimbang anaknya murtad, lebih baik menolak mentah-mentah syarat sang pemuda Kristen tersebut. Janin yang dikandung anaknya dibiarkan lahir tanpa ayah. “Kini anaknya dirawat oleh orangtua si gadis”, ujar Drs. Abu Deedat Syihabuddin, MH, Sekjen FAKTA(Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan) Jakarta.

Kristenisasi melalui jalur pemerkosaan gadis-gadis muslimah. Khairiyah Anniswah alias Wawah, siswi MAN Padang, setelah diculik dan dijebak oleh aktivis Kristen, diberi minuman perangsang lalu diperkosa. Setelah tidak berdaya, dia dibaptis dan dikristenkan. Kasus serupa menimpa Linda, siswi SPK Aisyah Padang. Setelah diculik dan disekap oleh komplotan aktivis Kristen, dia diperlakukan secara tidak manusiawi dengan teror kejiwaan supaya murtad ke Kristen dan menyembah Yesus Kristus.

Di Bekasi, modus pemerkosaan dilakukan lebih jahat lagi. Seorang pemuda Kristen berpura-pura masuk Islam lalu menikahi seorang gadis muslimah yang salehah. Setelah menikah, mereka mengadakan hubungan suami isteri. Adegan ranjang yang telah direncanakan, itu foto oleh kawan pemuda Kristen tersebut. Setelah foto dicetak, kepada muslimah tersebut disodorkan dua pilihan: “Tetap Islam atau Pindah ke Kristen?”. Kalau tidak pindah ke Kristen, maka foto-foto talanjang muslimah tersebut akan disebarluaskan. Karena tidak kuat mental, maka dengan hati berontak muslimah tersebut dibaptis dongan sangat-sangat terpaksa sekali, untuk menghindari aib. Di Cipayung Jakarta Tirnur, seorang gadis muslimah yang taat dan shalehah terpaksa kabur dari rumahnya. Masuk Kristen mengikuti pemuda gereja yang berhasil menjebaknya dengan tindakan pemerkosaan dan obat-obat terlarang.

Sumber : Al-Dakwah | un2kmu.wordpress.com | menuju-cahaya-ilahi.blogspot.com

Masuk Islam, Mualaf China Rasakan Ketenangan



ISLAM adalah agama yang memberikan ketenangan bagi setiap pemeluknya. Setidaknya, hal itu dirasakan muallaf keturunan China, Muhammad Sucipto. Kini, lelaki berkulit putih dan bermata sipit ini merasakan hidupnya lebih tenang dan bahagia dari sebelumnya.

“Setelah masuk Islam, kini saya merasakan hidup saya lebih tenang dan bahagia,” ujarnya kepada hidayatullah.com beberapa waktu lalu.

Sucipto menjelaskan, dulu hidupnya seolah tak punya arti. Sehari-hari yang dipikir hanya uang dan uang.

“Padahal, hidup itu tidak sebatas itu. Ada hak penghambaan kepada Sang Khaliq,” tuturnya.

Karena itu, meski hidup cukup bergelimang harta sebagai pemilik bengkel di Kota Sanggau Kalimantan Barat (Kalbar), tapi yang dirasa justru gundah-gulana, tak ada kebahagiaan. Hingga akhirnya hidayah itu datang ketika ia ditimpa musibah.

“Saya masuk Islam tidak lama setelah saya kecelakaan sangat parah,” ujarnya.

Boleh dibilang, kecelakaan yang menimpanya cukup parah. Ia mengalami koma selama sepekan dan hampir dirawat dua bulan lamannya.

Di saat-saat kritisnya itu, ia mendapat hidayah bahwa Islam agama yang paling benar dan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

“Syukurlah musibah ini menjadi titik balik untuk kembali ke Islam,” terangnya. Kini, selain Sucipto, seluruh keluarganya ikut masuk Islam, termasuk istri dan anak-anaknya.

Guna menambah pengetahuan agamanya, selain belajar dengan ustadz, ia banyak belajar secara otodidak di internet.

Sepeti usai magrib menjelasng isya itu, Sucipto duduk di sudut masjid Agung Sanggau sambil sibuk membaca tema-tema keislaman melalui HP-nya.*

Negara China Masuk Islam


Hidayah turun kepada lebih dari 600 warga negara Cina yang tengah bekerja di proyek jaringan kereta api Haramain di Arab Saudi. Dalam waktu 24 jam, mereka diberi kesadaran akan kebenaran Islam. Seperti dilaporkan situs Gulf News, Saat itu juga mereka kemudian mengucap syahadat dalam sebuah majelis di Makkah.

Warga Cina itu merupakan pegawai Chinese Railway Company, yang memenangkan tender pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan Makkah dan Madinah lewat Jeddah dan Rabigh. Jaringan kereta api ini bakal dibangun sepanjang 450 kilometer (km).

Menurut sekretaris pemerintahan daerah kota Makkah, Dr Abdul Azis Al Khudhairi, fenomena ini juga sekaligus menjadi jawaban atas kritik sebagian masyarakat terhadap pemerintah yang memenangkan perusahaan Cina untuk proyek tersebut.

"Keputusan mereka untuk pindah agama hanya berlangsung 24 jam setelah mendapatkan buku tentang Islam dalam bahasa Cina," tutur Abdul Azis.

Kejadian tersebut, kata dia, juga membuatnya bersemangat untuk terus mendakwahkan Islam kepada sekitar 5.000 warga Cina yang bekerja untuk proyek tersebut. Masalahnya, tutur dia, saat ini jumlah buku pengantar tentang Islam yang ditulis dalam bahasa Cina masih sangat terbatas. Proyek itu sendiri dijadwalkan berakhir tahun 2012.

Welcome brothers....(muslimdaily/rol)

sumber terpercaya: http://muslimdaily.net/berita/internasional/600-warga-negara-china-sekonyong-konyong-masuk-islam-tanpa-paksaan.html

Laa ikraaha fii din. artinya "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)" (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 256)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Agama ini akan meluas (ke penjuru dunia) seluas malam dan siang. Allah tidak akan meninggalkan satu rumahpun di desa maupun kota kecuali Allah memasukkan agama ini ke dalamnya, dengan kemulian atau kehinaan yang sangat, kemuliaan yang Allah memuliakan Islam dengannya dan kehinaan yang Allah hinakan kekufuran dengannya.” [HR. Ahmad (4/103), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (1/126), Ibnu Mandah dalam Al-Iman (1/102) Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/430-431) dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1631, 1632). Lihat As-Shahihah no. 3 dan Tahdzir Sajid hal. 118 oleh Al-Albani)]

Wartawan media Islam dilarang meliput sidang Iwan Walet



Bilal

Kamis, 13 September 2012 17:59:40

SOLO (Arrahmah.com) - Pada sidang ke-3 Iwan Walet, terdakwa kasus penganiayaan aktivis Islam hari selasa (11/9/2012) wartawan dari voa-islam.com sempat dilarang meliput persidangan.

Tiba pada pukul 09.10 WIB di PN Solo, pengamanan sidang Iwan Walet begitu ketat dengan pengamanan aparat. Seperti biasa, sebelum masuk ke ruang sidang, pengunjung diperiksa oleh beberapa anggota kepolisian. Wartawan sendiri diperiksa identitasnya dan ditanya-tanya oleh Kasubag Humas Polresta Solo AKP. Sis Raniwati, di sinilah insiden pelarangan itu terjadi.

AKP Sis Raniwati melarang wartawan voa-islam.com yang sudah menunjukkan kartu persnya untuk meliput ke ruang sidang dengan. "Maaf, masnya gak boleh masuk lagi pula masnya nggak punya kartu anggota pers dari PWI. Jadi gak boleh ngliput," katanya.

Padahal, sudah menjadi rahasia umum tidak semua wartawan adalah anggota PWI, apalagi sidang Iwan Walet terbuka untuk umum, jadi siapa pun boleh menghadiri sidang tersebut.

Namun demikian, anggota polwan tersebut melarang dengan dalih itu adalah perintah atasan. "Yaa ini sudah perintah atasan, maaf ," ucapnya.

Tak lama berselang, kurang lebih pukul 09.30 WIB, ketua DPW FPI Solo, Ustadz Choirul tiba PN Solo. Beliau-pun bertanya, "Kenapa belum masuk? Apa sidangnya belum dimulai?" tanyanya. Wartawan voa-islam.com lalu bercerita bahwa ia tidak diperbolehkan masuk oleh polisi.

Setelah mengetahui hal tersebut Ustadz Choirul yang sudah akrab dengan media Islam tersebut membela dan langsung menerobos masuk. Melihat hal itu, salah seorang anggota polwan dan polisi laki-laki meneriaki kami, "hei… hei… masnya tadi kan gak boleh masuk pak?" teriak seorang polwan kepada kami.

Lantas, Ustadz Choirul pun menjawab dengan nada geram, "Kenapa nggak boleh masuk? Mereka itu (sambil menunjuk para wartawan lainnya) sudah diperiksa dan punya kartu pers dan anggota dari PWI nggak? Inikan persidangan terbuka, apa anda nggak dengar apa yang diucapkan oleh hakim kemarin, bahwa sidang ini sidang terbuka untuk umum? Kalau sampai ada yang dihalang-halangi untuk masuk, maka anda akan saya perkarakan," tegas Ustadz Choirul.

Tak berhenti sampai di situ, dengan berani ustadz Choirul pun memberikan peringatan keras kepada aparat kepolisian yang melarang waktu itu. "anda kalau mau memeriksa orang-orang yang hendak mengikuti sidang silahkan, karena itu tugas anda sebagai aparat keamanan. Tapi kalau ada yang dihalang-halangi untuk masuk, sedangkan sidang ini adalah terbuka untuk umum, maka akan saya pidanakan. Penegak hukum kok nggak mudeng hukum", tandasnya.

Sementara itu, Ustadz Sholeh Ibrohim S.Th.I salah satu tokoh masyarakat di Solo, sangat menyanyangkan insiden pelarangan aparat kepolisian kepada wartawan yang hendak meliput sidang lanjutan ke-3 dengan terdakwa Iwan Walet tersebut.

"Itukan sidangnya terbuka, lalu kenapa kok sempat ada pelarangan dari kepolisian kepada media ini," ujarnya penuh kecewa.

Ulama yang juga terus mengamati persidangan Iwan Walet itu mensinyalir adanya upaya dari fihak tertentu untuk mengarahkan pemberitaan sidang Iwan Walet itu menjadi satu arah saja. Bahkan, pelarangan tersebut mengindikasikan adanya sinyalemen untuk membungkam media, khususnya media Islam yang kritis dalam setiap pemberitaannya.

"Dengan hal itu, menurut saya ada indikasi fihak tertentu untuk mengarahkan pemberitaan menjadi satu arah saja dan adanya upaya untuk membungkam media islam dengan cara mempersempit ruang geraknya", tegasnya. (bilal/bekti/arrahmah.com)

Pemilihan Gubernur DKI Vicky Irama: Ayah Terharu Banyak yang Membela Islam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putra Rhoma Irama, Vicky Irama, mengungkapkan mengapa ayahnya meneteskan air mata saat mendatangi gedung Panwaslu DKI. Air mata tersebut adalah ungkapan haru karena banyaknya pembela Islam yang datang.

Vicky menegaskan para pendukung yang hadir di gedung Panwaslu DKI sejak pagi tadi, datang bukan karena sosok ayahnya. Menurutnya kedatangan para pendukung itu sebagai bentuk kecintaannya terhadap agama Islam.

"Ayah saya sejak turun dari mobil sampai berjalan ke dalam, dia menangis. Beliau terharu melihat semua teman-teman disini yang peduli pada Islam," ungkap Vicky, Senin (6/6/2012).

Vicky kembali menegaskan kedatangan para pendukung tersebut bukan karena sosok ayahnya. "Jangan Anda kira semua yang berdiri disini karena Rhoma Irama. Tetapi karena membela agamanya," cetusnya.

Sebelumnya, Vicky mempertanyakan kenapa ada pihak yang tersinggung saat ayahnya sedang menyampaikan ajaran dalam agama yang dianutnya dan kemudian menyebutnya sebagai kampanye SARA jelang putaran kedua pemilukada DKI.

"Ini tipe orang ke-geeran. Kalau mau menyiarkan juga apa yang ada dalam ajaran anda, silakan. Itu amanah," tegasnya.

Perempuan Inggris Berbondong-Bondong Masuk Islam

Saat ini di Eropa sedang terjadi fenomena aneh. Kejadian yang kontradiktif. Disana terbilang hal yang kontroversial bila wanita yang mengenakan jilbab,  busana wanita Muslim. Bulan lalu, Belgia merupakan negara Eropa pertama yang mengeluarkan undang-undang yg elarang burka (kerudung wanita Islam),  dan menyebutnya sebagai "ancaman" untuk martabat perempuan, sementara Perancis terlihat siap untuk mengikutinya.

Di Italia awal bulan ini, seorang wanita Muslim didenda € 500 (£ 430) untuk memakai jilbab di luar kantor pos, Rohama melaporkan.

Namun, disisi lain sekarang   ini populasi yang mau menghadiri Gereja Inggris setiap minggu kurang dari 2%, sedangkan jumlah mualaf perempuan masuk Islam terus meningkat. Berduyun-duyun.

Di Masjid Pusat London di Taman Regent, sekitar dua pertiga dari "Muslim Baru" yang membuat pernyataan resmi iman mereka di sana  adalah perempuan dan menariknya, sebagian besar dari mereka berada di bawah usia 30. Artinya wanita muda.  Bukan karena sudah tua lalu masuk Islam.

Menurut Kevin Brice, dari Pusat Penelitian Kebijakan Migrasi, Swansea University, jumlah ini mungkin sekarang mendekati 300.000 - dan mayoritas adalah perempuan. "Dasar analisis menunjukkan bahwa peningkatan jumlah anak muda, berpendidikan universitas-wanita di usia dua puluhan dan tiga puluhan yang masuk Islam," menegaskan Brice.

"Kami liberal, pluralistik abad ke-21 masyarakat berarti kita bisa memilih karir kita, politik kita - dan kita bisa memilih yang kita inginkan secara rohani," jelas Dr Mohammad S. Seddon, dosen Studi Islam di University of Chester. Kami berada di suatu era "supermarket agama", katanya.

Masuknya kalangan wanita muda Inggris ke Islam menandakan bahwa mereka mencari dan mendapatkan sesuatu di Islam, kebenaran yang selama tidak di dapatkan pada agama lama mereka. Tokoh-tokoh Gereja makin lama makin kurang mendapatkan simpati. Akibatnya beberapa Gereja bahkan diubah peruntukannya menjadi diskotik atau toko. Kebanyakan orang enggan lagi pergi ke gereja. Inilah fenomena Eropa saat ini. Terlebih dengan mendapati beberapa ayat di kitab suci mereka yang bertentangan dengan kemanusiaan. Kaum muda Eropa lebih suka menonton film kartun lucu atau game dari Ipad atau Samsung Galaxy mereka ketimbang mendengarkan kutbah gereja yang berapi-api namun sekedar dogma dan tak sesuai rasionalitas manusia.

Percakapan Menuju Islam

Donald W. Flood


Mempelajari Kristiani

Meskipun aku dibesarkan sebagai penganut Kristiani, aku selalu merasa bimbang dan tidak tertarik dengan ajaran agamaku sendiri. Aku merasa seolah-olah telah mewarisi suatu agama misterius yang tidak mungkin dapat dipahami. Aku yakin bahwa itulah alasan mengapa hanya namaku saja yang berbau Kristen, namun pada prakteknya tidak demikian. Lebih jauh lagi, keraguanku terhadap keyakinan Kristiani kusadari telah membawaku ke dalam keadaan non-relijius. Sekalipun demikian, dalam masa pencarian kebenaran itulah, aku memiliki kesempatan untuk mempelajari keyakinan yang kuwarisi dari orang-tuaku, yang memang belum pernah kupelajari secara mendalam.

Melalui brosur-brosur, kaset-kaset serta film-film video tentang ajaran Kristen yang dibuat oleh Muslim maupun non-Muslim, aku menemukan kenyataan yang sangat mengejutkan bahwa terdapat ratusan ayat di dalam Injil yang tidak sesuai dan berlawanan dengan ajaran Kristen itu sendiri. Menurut bahan-bahan tersebut, Tuhan ada sebelum Yesus (Isa a.s.). Begitu pula, Yesus (Isa a.s.) ternyata mengajarkan keyakinan terhadap Satu Tuhan. Akan tetapi, setelah masa Yesus, ajaran Kristiani mulai menekankan konsep Trinitas menggantikan Ke-Esaan Tuhan. Juga, menurut Yesus sendiri, Tuhan tidaklah beranak dan tidak mempunyai sekutu. Mengenai dirinya sendiri, Yesus juga menyebutkan bahwa dia adalah utusan Tuhan. Sebaliknya, setelah masa Yesus, ajaran Kristiani mulai menekankan bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan bahkan dia adalah Tuhan itu sendiri.

Mengenai monotheisme (keyakinan terhadap Satu Tuhan), bahkan firman pertama dari Sepuluh Firman Tuhan telah membenarkan adanya penegasan Yesus tentang keyakinan terhadap Satu Tuhan.
“Dengarlah, wahai Bani Israel, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu.”
(Markus 12:29).
Juga, terdapat banyak sekali ayat-ayat Injil yang menolak ketuhanan Yesus. Sebagai contoh, Yesus mengakui dia sendiri tidak mampu melakukan mukjizat apapun, selain atas kehendak dan ijin Tuhan. Yang menarik, dikatakan di dalam Injil bahwa Yesus pernah berdoa. Hal ini membuatku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana mungkin Yesus adalah Tuhan jika pada saat yang bersamaan dia berdoa kepada Tuhan?” Tuhan yang berdoa jelas tidak masuk akal dan merupakan suatu pertentangan. Di samping itu, Yesus menegaskan bahwa ajarannya tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dariNya yang telah mengutusnya. Secara logika, apabila ajarannya bukan miliknya sendiri, maka dia hanyalah seorang nabi penerima wahyu Tuhan sebagaimana nabi-nabi sebelum (dan sesudah) dia. Lagipula, Yesus mengakui bahwa dia hanya menjalankan apa yang sudah diajarkan oleh Tuhan. Sekali lagi, aku bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Bagaimana mungkin Yesus menerima ajaran dan sekaligus menjadi Tuhan?” Dalam diskusi kami, orang-orang Muslim tersebut membenarkan ajaran Yesus tentang keyakinan terhadap Satu Tuhan, sebagaimana ayat Al-Qur’an berikut ini.

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (Al-Ikhlash:1)

Untuk kesekian kalinya, aku terkejut saat menemukan ayat-ayat Injil yang mengatakan bahwa Yesus adalah utusan Tuhan. Serupa dengan apa yang kutemukan itu, Islam menganggap Yesus sebagai seorang nabi dan utusan Tuhan. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Al-masih, putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami); kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat kami itu).” (Al-Maaidah:75)

Keyakinan Kristiani Bahwa Yesus Adalah Anak Tuhan

Menurut Injil, adalah merupakan kebiasaan untuk menyebut utusan Tuhan, atau orang yang bertakwa, sebagai anak Tuhan. Sedangkan, Yesus menyebut dirinya sendiri sebagai anak manusia, bukan Tuhan maupun anak Tuhan dalam arti harfiah. Jelas sekali bahwa Paulus adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kenaikan status Yesus menjadi anak Tuhan, karena telah menyimpang dari ajaran Yesus yang sesungguhnya.

Lebih jauh lagi, Yesus bukanlah anak keturunan Tuhan (seperti yang pernah disebutkan dalam Yohanes 3:16) karena kata-kata itu telah dihapus dari RSV (Revised Standard Version - Injil versi standard yang sudah di revisi), serta banyak lagi Injil versi baru lainnya. Di samping itu, Tuhan secara tegas telah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Dia tidaklah memiliki anak. Tuhan juga menyatakan bahwa Dia-lah yang telah menciptakan Adam (a.s.) dan Yesus (Isa a.s.).

“Sesungguhnya contoh (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah", maka jadilah Dia.” (Al-Imran:59)
Setelah perubahan Injil tadi, para penguasa dan pendeta memalsukan dan merubah isi Injil lebih jauh lagi, hingga jauh bertentangan dengan apa yang telah dikatakan maupun dilakukan oleh Yesus. Salah satunya adalah konsep Trinitas di mana Yesus adalah salah satu dari tiga perwujudan Tuhan Trinitas (Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Di dalam Injil, ayat itu menjadi dasar yang kuat bagi doktrin Trinitas, meskipun doktrin tersebut tidak pernah dikemukakan oleh Yesus, murid-muridnya, maupun orang-orang yang mempelajari agama Kristen. Pada kenyataannya, doktrin Trinitas diberlakukan setelah melalui perdebatan dan pertentangan panjang antara umat Kristiani pada tahun 325 M di Konsili Nicea. Yang menarik, ayat mengenai hal itu telah dihapus dari Injil-Injil jaman modern.

Sebagai tambahan, Al-Qur’an telah mengingatkan kaum Yahudi Nasrani agar tidak mengingkari wahyu Tuhan serta tidak meyakini Trinitas.
Pertentangan lainnya yang kutemukan adalah tentang ‘Dosa Waris’ dan keselamatan melalui penyaliban Yesus. Ternyata, Yesus tidak pernah mengajarkan doktrin Dosa Waris. Doktrin Dosa Waris baru muncul setelah masa Yesus. Lebih jauh lagi, Yesus menyebutkan bahwa keselamatan akan diperoleh melalui ketaqwaan terhadap Tuhan, sedangkan setelah masa Yesus, keselamatan umat manusia dianggap dapat ditebus melalui penyaliban Yesus.

Dalam ajaran Kristiani, doktrin Dosa Waris merupakan suatu pembenaran atas doktrin penebusan dosa manusia melalui penyaliban Yesus. Sekalipun demikian, aku menemukan bahwa doktrin ini sangat bertentangan dengan kitab Perjanjian Lama. Tampaknya, konsep ini telah dirancang sebagai cara penganut Kristiani untuk mengelak dari pertanggung-jawaban atas dosa-dosa mereka di hadapan Tuhan pada hari pembalasan. Aku akhirnya sadar bahwa, menurut Yesus, manusia akan diselamatkan oleh ketaatan dan ketakwaannya sendiri kepada Tuhan. Hal ini sesuai pula dengan Al-Qur’an, bahwa setiap jiwa akan mendapat balasan menurut amal perbuatannya. Akan tetapi, ketentuan ini telah ditukar dengan sebuah doktrin, bahwa dosa umat manusia dapat ditebus dengan penyaliban Yesus.

Teori penebusan dosa melalui penyaliban Yesus harus didukung bukti bahwa Yesus menawarkan dirinya sendiri dengan suka rela untuk disalib demi menyelamatkan dan menebus dosa umat manusia. Jika benar demikian, mengapa Yesus harus meminta tolong kepada Tuhan sebelum para tentara datang untuk menangkapnya?

“...Bapa, selamatkanlah aku daripada saat ini.” (12:27)
Demikian pula, mengapa Injil menyebutkan bahwa Yesus berteriak dengan lantang memohon pertolongan Tuhan saat berada di atas salib?
“...Tuhanku, Tuhanku, mengapa Kau tinggalkan aku?” (Matius, 27:46)

Selain itu, bagaimana mungkin Yesus disalib untuk menebus dosa seluruh umat manusia, jika dia diutus hanya untuk Bani Israel saja? Ini sungguh merupakan penyimpangan. Ayat-ayat Injil di atas sangat meyakinkan kita bahwa Yesus telah disalib untuk menebus dosa anak manusia. Sedangkan, menurut Al-Qur’an, orang yang berada di atas salib bukanlah Yesus, melainkan orang lain yang diserupakan dengannya. Bila hal ini benar, maka akan didapatkan penjelasan logis tentang pertemuan Yesus dengan murid-muridnya setelah masa penyaliban. Seandainya dia benar-benar meninggal di atas salib, maka dia pasti akan datang kepada murid-muridnya dalam wujud spiritual. Sebagaimana yang disebutkan dalam Injil Lukas 24:36-43, Yesus menemui mereka secara fisik setelah peristiwa penyaliban. Sekali lagi, aku menemukan bahwa ternyata Paulus-lah yang mengajarkan dogma kebangkitan Yesus dari kematian. Paulus juga mengakui bahwa kebangkitan Yesus hanyalah ajarannya sendiri.

Aku menemukan banyak sumber yang menyebutkan bahwa pada masa itu, Paulus dan yang lain-lainnya merasa putus asa dengan penolakan orang Yahudi terhadap ajaran Yesus, sehingga mereka terpaksa menyebarkan ajaran itu kepada orang-orang non-Yahudi. Mereka merambah Eropa selatan, di mana polytheisme dan pemujaan berhala sedang meraja-lela. Secara bertahap, ajaran Yesus mulai diubah agar sesuai dengan selera dan tradisi bangsa Romawi dan Yunani pada masa itu. Injil sendiri telah mengingatkan agar tidak seorangpun menambahkan maupun mengurangi apa-apa dalam ajarannya, namun ternyata hal itu telah benar-benar terjadi. Tuhan juga telah memberikan peringatan serupa di dalam Al-Qur’an.

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah:79)

I considered Judaism but chose Islam


For as long as I can remember, I have never been satisfied with Christianity. I could never assimilate their belief that Jesus is the “son” of God. I used to think it was a fault in me – that I was of “weak faith”.
When I was a child, I used to pray to God to help me believe that Jesus was His son. I didn’t feel God responding to my prayer to strengthen my faith in the Christian church.

I had a little Jewish friend in the 3rd grade. I remember being fascinated by her religion. I asked her why she wrote the word God as “G’d”, and she replied that in her religion, even the word “God” was considered too holy for them to spell out. I was amazed at the supreme power of our mutual God!
I remained very interested in Judaism all the way throughout elementary school, up into high school and college, all the while researching and studying it. I decided that it was the closest thing I had found so far to what I believed about God.

During college, I joined the Jewish Students Organization, started taking Hebrew and religious study, and began to make plans for my formal conversion to Judaism.

I contacted one rabbi at a conservative synagogue, and was quickly and purposefully discouraged by him as to the amount of work and effort it would take on my part. When I persisted, saying that I was willing to work hard for something as important to me as religion, he said: “We really don’t do conversions here!”

That was the end of that conversation. I was somewhat discouraged, but decided to try again at another synagogue with another rabbi a few days later. This one told me that I could convert if I wanted to, but that I would never be considered a Jew by other Jews.

With this warm reception, I was finally discouraged, and decided to look into other faiths. I examined Catholicism, Buddhism, and even Native American Spirituality, and I was getting nowhere. I finally decided that I would just believe my own beliefs of a supreme and omnipotent God, and go my own way.
I never even considered Islam until I met the man who was to later become my husband. I had previously always dismissed Islam as a violent religion, full of bloodshed, “holy wars”, and men who abused and oppressed women!
This was entirely due to the western media’s gross misrepresentation of Islam – the only exposure most Westerners, including myself, ever have to Islam, unfortunately!

When I found out (through casual conversation) that the man I had met was a Muslim, I was somewhat taken aback. He was so sweet and warm and caring, and he had a great sense of humor! (A Muslim with a sense of humor? Impossible!)

I really liked him as a person. I thought maybe I should investigate Islam more on my own, as I had just met a Muslim who defied all of the negative stereotypes that I had in my head about Islam and Muslims.
As the months went by, and as I studied more and more in depth about Islam, my conviction began to grow steadily that this was the true religion. It was so close in many ways to what I already believed!

Then one day at a weekly women’s lesson on Islam that I had been attending, (even though I wasn’t a Muslim yet), one of the sisters was reading a verse of the Qur’an that really affected me. It was about the Jews and their questioning of God’s commands in sacrificing the heifer in Al-Baqarah.
This verse suddenly affected me so much that, much to my embarrassment, I began to cry in the middle of the lesson. The sister who was reading comforted me by saying that the Qur’aan – the Word of Allaah (Subhana Wa Ta’ala) – often affects people this way.

That evening at home, as I was preparing for bed, I went through my usual routine of opening the Holy Qur’an at random and asking Allaah to select a passage for me to read. The verse that my eyes fell on as I opened the book read as follows: “And when they listen to the revelation received by the Messenger, you will see their eyes overflowing with tears, for they recognize the truth. They pray: ‘Our Lord! We believe; write us down among the witnesses. What cause can we have not to believe in Allah and the truth which has come to us, seeing as we long for our Lord to admit us to the company of the righteous?’ And for this, their prayer has Allah rewarded them with Gardens, with rivers flowing underneath – their eternal Home. Such is the recompense of those who do good.” (5:83-85)


This was the final message to me from Allaah for me to revert to Islam! I was speechless. He (Allah) spoke to me through the glorious Qur’an. He showed me the straight path – the truth. I said Shahada (Testimony of faith) shortly after that. Shahada was a homecoming for me – I felt that my soul had been set free.
Also, in direct contrast to the less-than-friendly welcome of the Jews when I expressed a desire to convert, the Muslims all said: Allahu Akbar (Allah is the Greatest), Al-Hamdulillah (All praise and thanks are due to Allah), Masha’Allah (What Allah wills), Subhan Allah (Glorified is Allah), Ahlan wa Sahlan (Welcome), Mubarak (Blessing), Assalaamu Alaikum (Peace be upon you). No one has ever told me I “would never be considered a Muslim”.
To this day, and always, it warms my heart and soul to go to a gathering of my sisters and brothers in Islam and hear the quiet murmuring of “Assalaamu Alaikum”, and see the warm smiles, hugs and handshakes, and the welcoming outstretched arms of my Ummah (community)! I will never stop thanking Allaah for guiding me to the light of Islam.

Why I Chose Islam

By Jemima Goldsmith (Wife of Imran Khan)

The media presents me as a naive, besotted 21-year-old who has made a hasty decision without really considering the consequences—thus effectively condemning herself to a life of interminable subservience, misery and isolation. Although I must confess I have rather enjoyed the various depictions of a veiled and miserable "Haiqa Khan" incarcerated in chains, the reality is somewhat different. Contrary to current opinion, my decision to convert to Islam was entirely my own choice and in no way hurried.


Whilst the act of conversion itself is surprisingly quick—entailing the simple assertion that "there is only one God and Muhammad is His Prophet"—the preparation is not necessarily to speedy a process. In my case, this began last July, whilst the actual conversion took place in early February—three months before the Nikah in Paris.


During that time I studied in depth both the Qur’an and the works of various Islamic scholars (Gai Eaton, the Bosnian president Alia Izetbegovic, Muhammad Asad), thus giving me ample time to reflect before making my decision. What began as intellectual curiosity slowly ripened into a dawning realisation of the universal and eternal truth that is Islam. In the statement given out of week ago, I particularly stressed that I had converted to Islam entirely "through my own convictions". The significance of this has been largely ignored by the press. The point is that my conversion was not, as so many have assumed, a pre-requisite to my marriage. It was entirely my own choice. Religiously speaking there was absolutely no compulsion for me to convert prior to my marriage. As it explicitly states in the Qur’an, a Muslim is permitted to marry from "the People of the Book"—in other words, either a Christian or a Jew. Indeed, the Sunnah—which describes the life of the Prophet—shows that the messenger of Islam himself married both a Christian and a Jew during his lifetime.


I believe that much of this hostility towards my marriage and conversion stems from widespread misconceptions about an alien culture and religion. Not only is there a huge gulf between the Western view of Islam and the reality, but there is in some cases also a significant distinction between Islam based directly on the Qur’an and the Sunnah and that practised by some Islamic societies. During the last year I have had the opportunity to visit Pakistan on three separate occasions and have observed Islamic family life in practice. Thus, to some extent I now feel qualified to judge for myself the true role and position of women in the religion. At the risk of sounding defensive, I would like to point out that Islam is not a religion which subjugates women whilst elevating men to the status of mini-dictators in their homes.I was able to see this first-hand when I met Imran’s sisters in Lahore: they are all highly educated professional women. His oldest sister, Robina, is an alumnus of the LSE and holds a senior position in the United Nations in New York. Another sister, Aleema, has a master’s degree in business administration and runs a successful business; Uzma is a highly qualified surgeon working in a Lahore hospital, whilst Rani is a university graduate who co-ordinates charity work. They can hardly be seen as "women in chains" dominated by tyrannical husbands. On the contrary, they are strongminded independent women—yet at the same time they remain deeply committed both to their families and their religion. Thus, I was able to see—in theory and in practice—how Islam promotes the essential notion of the family unit without subjugating its female members.


I am nevertheless fully aware that women are sometimes exploited and oppressed in Islamic societies, as in other parts of the world. Judging by some of the articles which have appeared in the press, it would seem that a Western woman’s happiness hinges largely upon her access to nightclubs, alcohol and revealing clothes; and the absence of such apparent freedom and luxuries in Islamic societies is seen as an infringement of her basic rights. However, as we all know, such superficialities have very little to do with true happiness. Besides, without in any way wishing to disparage the culture of the Western world, into which I was born, I am more than willing to forego the transient pleasures derived from alcohol and nightclubs; and as for the clothes I will be wearing, i find the traditional shawlar kameez (tunic and trousers) worn by most Pakistani women far more elegant and feminine than anything in my wardrobe.Finally, it seems futile to speculate on my chances of marital success. Marriage, as Imran’s father has been quoted as saying, is indeed "a gamble". However, when I see that in a society based on family life the divorce rate is just a fraction of that in European or American society, I cannot see that my chances of success are any less than if I had chosen to marry a Westener. I am all too aware of the enormous task of adapting to a new and radically different culture. But with the love of my husband and the support of his family I look forward to the challenge wholeheartedly, and would like to feel that people wish me well. Whilst I do appreciate the genuine concerns of many, I must confess to feeling somewhat bewildered by all of the commotion.